Sabtu, 08 Agustus 2020

DIRIKU DAN KM ITB

Sekitar satu tahun yang lalu, saya menginjakkan kaki pertama kalinya sebagai mahasiswa di ITB. Satu tahun yang berlalu juga menandakan bahwa saya sekarang adalah seorang mahasiswa tingkat dua. Mahasiswa yang kini berada pada posisi pra himpunan dan anggota biasa di KM ITB. Masa yang dialami mahasiswa tingkat dua saat ini adalah masa untuk belajar, tidak untuk belajar hal-hal yang rumit, tetapi untuk belajar hal-hal yang dasar. Hal-hal tersebut adalah tentang mengenal diri, mengembangkan diri, dan memposisikan diri.


KM ITB adalah suatu kendaraan. Suatu kendaraan yang membawa mimpi seorang mahaiswa ITB tercapai. Kendaraan yang memiliki berbagai kelengkapan untuk memberi kenyamanan kepada para penumpang di dalamnya. Sebagai seorang penumpang saya ingin memanfaatkan semua perlengkapan yang telah disediakan, seperti berbagai kepanitiaan, kegiatan sosmas, dan masih banyak lagi. 


Sebagai seorang penumpang yang baik, tentu saya harus menerapkan prinsip give and take. "Take" sudah saya jelaskan seperti di atas. "Give" yang bisa saya lakukan saat ini adalah menyukseskan keberjalanan acara yang diberikan KM ITB. Bergabung kembali dengan kabinet merupakan salah satu cara saya untuk berkontribusi secara aktif di KM ITB. Aktif di himpunan merupakan hal yang pasti akan saya lakukan juga. Dan hal yang terakhir adalah saya ingin fokus juga dalam mengembangkan salah satu Badan Semi Otonom yang ada di ITB yang bernama Gebrak Indonesia.


Muhammad Satriyo

16319275/12019028

Nomad 15/ Tribe 8

Senin, 20 Juli 2020

PEMBELAJARAN JARAK JAUH BERBASIS DARING



Empat bulan sudah berlalu sejak COVID-19 memasuki Indonesia. Berbagai cara dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat untuk mencegah penyebaran virus ini. Pemerintah yang memiliki tanggung jawab penuh dalam menjaga keselamatan rakyat. Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berbasis daring. PJJ dilakukan sebagai salah satu bentuk penerapan dari Social Distancing. Pemerintah tidak menginginkan sarana pendidikan sebagai klaster baru penyebaran COVID-19. 

Seperti biasanya hal - hal yang terjadi di Indonesia, kebijakan ini mencegah suatu permasalahan dan mendatangka suatu permasalahan lainnya. Seperti yang diperlihatkan pada kolom berita berikut


Dua berita di atas yang menjadi permasalahan utama dari PJJ saat ini. Di satu sisi PJJ memiliki kekurangan karena keterbatasan akses internet di Indonesia dan di satu sisi lainnya PJJ diisukan berlaku hingga akhir tahun bahkan bisa saja dipermanenkan. Tentu hal ini akan merugikan berbagai pihak, khususnya para peserta didik. Mengapa?

Sumber: APJII

Sangat tampak jelas bahwa akses internet di Indonesia belum 100% dan juga belum merata. Tentu hal itulah yang menjadi keluhan utama para peserta didik selama masa PJJ dari ini. Rakyat juga masih mengeluhkan karena untuk mengakses internet memerlukan biaya yang tidak murah 

https://jakbarnews.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-37596673/orang-tua-keluhkan-mahalnya-kuota-internet-untuk-pjj-kominfo-bilang-sudah-didiskon

Pemerintah menyatakan sudah mendiskon biaya internet, tapi faktanya penggunaan internet untuk PJJ sangatlah boros karena digunakan untuk mengakses buku-buku daring, pembelajaran tatap muka secara daring, tugas yang banyak dsb. Dengan begitu, kuota internet yang diperlukan pastilah besar dan semakin besar kuota internet maka harganya semakin mahal.

Sebelum melanjutkan lagi, mari kita membaca berita berikut

https://ayobandung.com/read/2020/07/17/107573/1-300-blank-spot-internet-di-jabar-hambat-sekolah-online


Setelah melihat hasil survei dari APJII dan setelah membaca berita tadi, kita pasti heran mengapa masih banyak daerah di Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat yang masih kesulitan akses internet, padahal Pulau Jawa memiliki persentase pengguna internet paling besar. Hal tersebut bisa disimpulkan bahwa di pulau lain selain Pulau Jawa pasti memiliki daerah yang kesulitan akses internet lebih banyak.

Dengan pemaparan tadi, sudah semakin jelas bahwa dengan diadakannya PJJ secara daring malah menyulitkan peserta didik dan orang tuanya.  Tidak hanya akan ketinggalan materi pembelajaran, tetapi juga akan menguras uang kas keluarga. Ini tentunya sangat menyulitkan bagi kita semua.

Sudah saatnya untuk pemerintah meninjau kembali cara pembelajaran seperti ini. Proses peninjauan ini tentu harus berlangsung dengan cepat dan perbaikan kualitasnya harus lebih sigap agar tidak ada yang dirugikan.


Muhammad Satriyo